Bandung, Desember 2019
Sepasang insan itu kini berdiam diri saling berhadapan di sebuah coffee shop di tengah kota Bandung. Di luar hujan, membuat coffee shop yang tadinya sepi kini ramai karena orang-orang yang sibuk menepi. Sang Perempuan melilitkan jarinya di bawah meja, gugup. Sedangkan si laki-laki, sibuk melihat rinai hujan yang membelah jalan.
“Chan ….” Akhirnya, perempuan itu bersuara setelah sepuluh menit tidak ada perbincangan.
Chandra yang merasa namanya dipanggil, memusatkan atensi sepenuhnya ke perempuan yang berada di hadapannya.
Diam. Sesaat setelah melihat mata kecoklatan hangat milik Chandra, Kirana kembali hening. Kosa kata yang selalu ia dengar tiba-tiba hilang dicuri entah oleh siapa. Otaknya buntu mencari kalimat penjelasan yang harus keluar dari mulutnya.
Chandra paham, ada yang tidak beres dari puannya. Ada sesuatu yang mengganjal, entah di hati atau pikirannya. Namun, lelaki itu cukup paham, bahwa ia tidak punya kendali untuk memaksa Kirana berbicara. Sehingga pada akhirnya, suasana di bangku itu menjadi sepi lagi.
Bermenit-menit terlewati, Kirana masih enggan membuka suaranya. Perempuan itu masih berusaha menyusun kata-kata agar tidak menyakiti Chandra. Ah … sebenarnya, tanpa Kirana bersusah payah menyusun kata agar tidak menyakiti Chandra pun pada akhirnya akan membuat hati cowok itu tergores.
“Kamu nggak sakit kan, Ki?” Chandra bersuara setelah netranya menangkap wajah Kirana yang pucat.
Kirana sontak menggeleng, “Nggak. Aku nggak sakit, Chan.”
“Terus kenapa mukanya pucat gitu? Belum makan, hm?”
“Udah, kok. I’m totally fine, Chandra.”
“Oke,” Chandra menyenderkan badannya di kepala kursi, padangannya tak lepas melihat gerak-gerik Kirana yang semakin aneh. “Kira, aku nggak maksa kamu buat ngomong sekarang. Santai aja, oke? Nggak usah gugup. Kita udah kenal dua tahun, lho. Kamu mau ngobrolin apapun aku bakal terima, Ki.”
Terlalu baik. Chandra selalu sebegitunya menghormati seseorang yang dia suka. Chandra tidak pantas dihancurkan hatinya sedemikian rupa.
“Gimana bisa aku lepasin kamu kalau gini caranya, Chan?”
Batin Kirana dengan matanya yang memburam. Tidak, air matanya tidak bisa jatuh begitu saja di hadapan Chandra.
“Chandra … maafin aku.”
Pada akhirnya, hanya kalimat itu saja yang keluar dari mulut Kirana. Ia masih belum menemukan kata-kata yang pas.
“Hei, hei, kenapa?” tangan Chandra menepuk lengan atas Kirana. “Aku maafin, Ki. Ada apa?”
Pertahanan Kirana runtuh. Ia tidak bisa melepas laki-laki sebaik ini. Andai saja takdir berbaik hati kepadanya, ia ingin meminta agar dirinya bisa bersama selamanya bersama Chandra. Bisa selamanya menjaga hati Chandra. Bisa selamanya melihat tawa hangat Chandra.
“Aku … aku mau kita udahan ya, Chan?”
Dunia Chandra berantakan.
“Udahan gimana, Ki?”
“Kita udahan, Chan. Kita jalanin hidup kita masing-masing. Aku sama hidup aku. Kamu sama hidup kamu.”
“Maksudnya putus?”
Kirana tidak sanggup melihat mata yang selalu penuh dengan kehangatan itu kini perlahan berubah menjadi kosong.
“Aku minta maaf, Chan.”
Chandra memalingkan mukanya sesaat. Mengontrol emosinya agar tidak meledak di depan perempuannya. Lelaki itu berkali-kali menarik nafas dalam-dalam.
“Jawab aku, Kia. Udahan yang kamu maksud itu putus?”
“Chan, maaf ….”
“Aku butuh kata iya atau engga, Ki.”
Kirana menghapus bulir-bulir air matanya. Kepalanya mengangguk dengan mata yang masih tidak berani melihat mata kecoklatan milik Chandra. “Iya, Chandra. Kita putus. We are done.”
Dunia Chandra kini benar-benar hancur. Tidak ada satu orang pun yang bisa membereskannya. Emosi seketika menguasai seluruh tubuhnya. Tangannya mengepal. Hatinya tercabik-cabik tanpa ampun.
“Kenapa?” Chandra berkata dengan nada yang dingin, “Alasan apa yang akhirnya kamu berani ngeluarin kata putus, Ki? Kita baik-baik aja, lho. Bahkan kemarin, pun, aku baru main ke rumah kamu. Bawa martabak buat bapak kamu untuk pertama kalinya setelah dua tahun kita pacaran. Kenapa, Ki? Bapak kamu nggak suka sama aku?” tanyanya tanpa ampun.
Kirana membisu. Perempuan itu tidak sanggup menjelaskan alasannya. Ia membiarkan Chandra mengeluarkan segala emosinya.
“Kalau emang iya bapak kamu nggak suka sama aku, kita nggak bakal nikah besok, Ki. Masih banyak waktu buat bikin bapak kamu suka sama aku. Kamu nggak bisa kaya gini.”
“Aku minta maaf, Chandra.”
“Kira, kamu nggak harus minta maaf. Aku nggak butuh, Ki. Sekarang, jelasin ke aku kenapa kamu minta putus?”
Kirana menggeleng.
“Kenapa? Kenapa kamu nggak bisa ngejelasin alasannya?”
“Aku nggak bisa, Chan. Beneran nggak bisa.”
“Kenapa, Kira. Kenapa?” Laki-laki itu menarik rambutnya frustasi. “Sesulit itu kah buat ngejelasin?”
Kirana mengangguk.
“Maafin aku, Chan. Aku beneran nggak bisa ngejelasin alasannya ke kamu. Nggak bisa untuk waktu yang dekat.”
“Oh, God! Kirana, please.”
“Chandra aku minta maaf. Tolong ngertiin aku, Chan.”
“Ngertiin? Aku tanya sama kamu, Ki. Kamu sekarang ngertiin posisi aku nggak sih? How could you be so selfish like this? Aku cuman minta kamu buat ngejelasin alasannya biar aku bisa ngerti posisi kamu. Apa susahnya?”
“Susah, Chan. Susah. Kamu nggak akan ngerti.”
“Than make me understand, Kira! Jelasin! At least, kasih tahu alasan singkat kenapa kamu tiba-tiba nelfon minta ketemuan, nggak mau aku jemput, dan ngomong kaya gini. Aku juga sama-sama nggak ngerti, Kira! Bukan kamu doang!”
Kirana tahu ia salah. Perempuan itu kini semakin menangis, menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tidak sanggup memperlihatkan wajahnya yang kini sudah berantakan. Ia tahu, dirinya telah menghancurkan seluruh hatinya Chandra. Iris yang penuh kehangatan itu kini telah berganti sepenuhnya. Tidak ada lagi kehangatan yang senantiasa menyertainya.
“Aku minta maaf banget. Maaf ya, Chan. Maaf banget. Aku salah nggak bisa ngasih penjelasan ke kamu, nggak bisa ngertiin kamu, nggak bisa buat bikin kamu ngerti sama masalah ini. Aku bener-bener minta maaf. Lupain aku ya, Chan? Kita jalan masing-masing mulai hari ini, ya?”
“Aku bakal nerima itu semua asal kamu bisa ngasih alasan pasti, Kira.”
“Chandra, udah. Aku udah bilang ke kamu kalau aku nggak bisa ngasih alasannya sekarang.”
“Kenapa nggak bisa sekarang?”
“Nanti. Aku belum siap, Chandra.”
Chandra tertawa, “Kamu egois, Kira. Egois. Kamu dari dulu tahu aku nggak suka ditinggal tanpa alasan yang nggak pasti. Tapi sekarang? Lihat apa yang kamu lakuin, Kira.”
“Aku ngaku salah, Chandra. Maaf ….”
“Berhenti minta maaf disaat aku nggak tahu harus kasih maaf apa buat kamu?”
Lalu cowok itu bangkit dari kursinya. Memakai jaket kulit kesayangannya dan mengambil helm yang ia letakkan di bawah meja.
“Pulang naik go-car aja, masih hujan.”
Lihat. Meski hatinya sudah dicabik-cabik sedemikian rupa oleh Kirana, laki-laki itu masih peduli pada satu-satunya perempuan yang ingin ia jaga seumur hidup selain bundanya. Chandra tidak tahu, apakah hatinya yang hancur ini masih bisa ditata kembali oleh orang yang baru? Apakah dirinya bisa melupakan Larasati Jatikirana dari hatinya?
Kirana mengangguk melihat kepergian Chandra. “Chandra!” Kirana bersuara.
Chandra berbalik, tanpa suara.
“Hati-hati!”
Chandra mengangguk. Perlahan sosoknya ditelan bulat oleh rintik hujan di luar sana. Kirana memperhatikan Chandra yang perlahan menjauh dengan motornya.
“Chandra, sekali lagi maaf ….”
Kirana kembali sibuk menyelesaikan tangisnya di coffee shop. Berusaha melupakan kenangan bertahun-tahun dirinya dengan Chandra. Berusaha mengikhlaskan tawa hangatnya yang mungkin tidak akan pernah ia lihat lagi. Berusaha membiasakan dirinya tidak akan ditatap lagi oleh sepasang netra hangat Chandra.
Satu hal yang Kirana tidak tahu, beratus-ratus meter di depan sana, Chandra sudah terbaring lemah di aspal yang basah. Tidak ada orang yang menolongnya. Mereka berdua sama-sama tidak tahu, bahwa pertemuan, perdebatan, tangis, dan segala emosi yang keluar di coffee shop tadi adalah kesempatan terakhir kalinya sebelum pada akhirnya, rasa bersalah akan memeluk Kirana seumur hidupnya.
. . . . .
Bandung, 6 Juni 2020
Kirana kini berdiri di depan pusara Chandra. Perempuan itu membawa sebuah bunga dandelion — satu-satunya bunga yang Chandra suka — di tangannya. Pakaian yang Kirana pakai selalu berwarna putih, Chandra pernah bilang saat dirinya pergi ke pemakaman salah satu ibu dari temannya.
“Ki, nanti kalau aku pergi duluan dan kamu mau jengukin aku, pake bajunya warna putih ya?”
Kirana saat itu hanya bisa tertawa, “Apaan sih. Ngomongnya nggak dijaga.”
“Eh … serius aku.”
“Kenapa harus putih coba, Chan?”
“Ya … biar ada temen atuh. Biar keliatan nggak sedih terus. Masa, weh, aku udah sendirian di sini pake yang putih masih harus lihat orang lain ke tempat terakhir aku gelap-gelap. Asa sararieun.”
“Ai kamu, ih, malah bercanda.”
“Beneran ini mah, Ki.”
“Iya, deh.”
Kirana tidak tahu bahwa ia harus secepat ini menggunakan pakain putih untuk bertemu Chandra. Membawa bunga dandelion yang lagi-lagi Chandra minta jika orang menjenguknya di tempat terakhirnya.
“Chandra, aku datang lagi. Dandelion dan baju putih yang selalu kamu minta.” Kirana membuka suaranya.
“Aku nggak akan kelepasan nangis sekarang, Chan. Aku udah belajar nahan nangis, nih.”
“Hari ini ulang tahun kamu tahu. Gimana di sana, Chan? Orang baik pasti punya banyak temen, ya? Masa aku harus rayain ulang tahun kamu sendiri sih, di sini. Nggak asik, nggak ada yang bawel kalau mukanya kena cream cake. Di sana kamu dijailin juga nggak?”
“Tapi kamu nggak suka ya kalau dijailin? Jadi kalau masih di sini, kamu pasti bakal ngehindarin aku seharian. Haduh … repot.”
“Chan, kamu tahu nggak kalau bunda masih suka kelepasan nanyain kamu kalau kamu belum ada di kamarnya jam sepuluh malem?”
“Aku juga, deng. Aku masih suka nungguin kamu di bawah pohon parkiran sambil pegang teh sisri dua. Terus akhirnya aku harus minum dua-duanya. Kalau nggak aku kasih ke anak yang suka kamu kasih uang jajan. Kamu inget, kan?”
“Setiap aku ketemu dia, dia selalu nanyain kamu terus tau, Chan. Kangen katanya sama kamu. Dia suka ke sini nggak? Aku udah ngasih tahu tempatnya, sih, ke dia. Tapi, bulan depan aku bawa dia, deh, ke sini. Ketemu Aa Chandra-nya.”
“Eh, kamu pasti lihat dan denger dari atas sana, kan?”
“Aku baik-baik aja kok, Chan. Nggak usah khawatir, ya? Aku kan udah belajar buat nahan air mata, nih. Pelan-pelan aku juga belajar buat ngeikhlasin kamu.”
“Iya, Chan, kamu bener. Aku egois. Bener-bener egois. Seandainya Desember kemarin aku nggak ngajak kamu ketemuan di coffee shop, kamu mungkin masih di sini, nemenin aku. Kita bareng-bareng ngerayaian ulang tahun kamu.”
“Kata orang-orang, bahkan kata bunda kamu pun, ini bukan salah aku. Tapi aku nggak bisa, Chan. Aku nggak bisa berhenti nyalahin diri aku sendiri. Aku salah, kan?”
“Kita pisah juga dalam kedaan berantem dan semuanya karena siapa? Karena aku. Iya, kan?”
“Bilang iya, Chandra. Aku nggak bakal tenang dengan orang-orang bilang kalau aku nggak salah.”
“Chandra, dari hari itu sampai hari ini pun, aku nggak akan pernah bisa buat berhenti minta maaf. Aku udah ngehancurin hati kamu, aku udah bikin Bunda kehilangan anak laki-laki satu-satunya, aku udah bikin temen-temen kamu kehilangan orang paling ceria di tongkrongannya.”
“Chandra … kenapa harus kamu yang pergi?”
“Chandra … aku nggak bisa tidur nyenyak beberapa bulan kebelakang.”
“Chandra … aku kangen voice note yang selalu kamu kirim sebelum kamu tidur.”
“Chandra … aku kangen minum teh sisri berdua di bawah pohon parkiran sama kamu.”
“Aku … aku kangen makan pecel lele Pak Ikwan bareng kamu.”
“Aku juga kangen malam mingguan sama kamu.”
“Aku … aku mau sama kamu terus Chandra. Aku nggak mau kehilangan kamu. Aku nggak bisa kehilangan kamu. Aku nggak bisa ditinggalin dengan cari ini, Chandra.”
“Chandra … ayo bangun, aku mau denger kamu maafin aku ….”
6 Juni 2020, di samping pusara dan tempat abadi Chandra, Kirana gagal lagi menahan tangisnya. Perempuan itu ingkar lagi pada Chandra untuk tidak menangis dan belajar mengikhlaskannya. Perempuan itu gagal lagi untuk tidak mengeluarkan kata maaf dari dirinya. Penyesalan itu mungkin tidak akan pernah melepaskan pelukan eratnya di pundak Kirana hingga kapanpun.
. . . . .